أسرة الطلبة الأتشيين بالسودان

RSS
KELUARGA MAHASISWA ACEH (KMA) SUDAN Po. Box 12146 Khartoum Sudan 12223 E-mail: kma.sudan@gmail.com Mobile: +249927876016

Kamis, 01 Maret 2012

HERMENEUTIKA BUKAN TAFSIR


Oleh: Zaglul Fitrian Djalal 
 
 Allah SWT berfirman:  ﴿إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ الحجر: 9

Pendahuluan
Alquran sejak awal diciptakan oleh Allah Swt sebagai pedoman hidup umat Islam telah dijamin keotentikannya tidak dapat dipalsukan oleh campur tangan manusia, bahkan makhluk dari golongan manapun dari ciptaanNya tak berdaya mendatangkan tandingan sehebat Alquran, walau satu ayat pun. Karena memang Allah SAW sendiri yang menjaga kemurnian dan kesucian Alquran tersebut.

Tuntutan zaman yang menghendaki Alquran dapat menjawab segala permasalahan umat manusia yang notabenenya mengalami perkembangan, dianggap tidak bisa ditafsirkan dan dicerna makna-makna yang terkandung di dalamnya dengan penafsiran dan segala perangkat ilmu keislaman lainnya yang biasa kita kenal dengan ‘ilmu at-tafsir wa ‘ulumul alqu’ran. (tafsir dan ilmu-ilmu alquran). Inilah statemen yang selalu dipublikasikan oleh barat dengan tujuan mengganggu eksistensi Alquran dan menodai kesucian Alquran. Sehingga mereka mempopulerkan metode untuk mengkaji Alquran yang mereka sebut dengan “Hermeneutika”.
Sebelum kita membahas lebih jauh, sekilas kita lihat apa sebenarnya hermeneutika dan kerancuan-kerancuan metode barat ini, agar tidak terjadi percampuradukan dan salah kaprah dalam membedakan hermeneutika (metode penafsiran barat) dan ilmu tafsir (interpretasi) terhadap Alquran.

Sejarah Hermeneutika
Hermeneutika diambil dari bahasa Yunani Ερμηνεύω, hermēneuō atau to hermeneutica bentuk jamak dari hermeneuticon yang berarti penerjemahan atau pemahaman suatu pesan. Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia.
Pada abad pertengahan hermeneutika hanya digunakan untuk menafsirkan Bible, tapi kemudian pada abad ke 18 M, Friedrich Schleiermacher (1768-1834) yang dikenal sebagai “Bapak Hermeneutika” modern mulai meluaskan cangkupan pembahasan hermeneutika meliputi seluruh teks-teks sejarah. Kemudian dilanjutkan dengan Wilhelm Dilthey (1833-1911), Martin Heidegger (1889- 1976), Hans-Georg Gadamer (1900- 2002), Jurgen Habermas (L: 1929) dan Paul Ricoeur (L: 1913).
Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran tafsir hermeneutika tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja. Bahkan yang menjadi pemicu pemisahan agama kristen menjadi dua aliran, protestan dan katholik adalah sebab perbedaan penafsiran Bible yang menggunakan metode hermeneutika.
Salah seorang yang pertama kali memperkenalkan hermeneutika dalam penafsiran Alquran adalah Nasr Hamid Abu Zayd (hermeneutika sastra kritis) yang kemudian menyeru kepada umat Islam agar menafsirkan ulang Alquran agar sesuai dengan tuntutan zaman, akhirnya dia kemudian memperkenalkan hermeneutika, tapi sayangnya penafsiran yang ia bawa dinilai menyimpang dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, bahkan oleh sebahagian ulama ia dianggap kafir.
Setelah itu banyak lagi tokoh-tokoh yang mengikuti jejak langkah beliau, sebut saja Hassan Hanafi (hermeneutika-fenomenologi), Mohammad Arkoun (hermeneutika-antropologi nalar Islam), Fazlur Rahman (hermeneutika double movement), Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Amina A. Wadud (hermeneutika gender), Muhammad Syahrur (hermeneutika linguistik fiqih perempuan).

Hermeneutika, Tafsir dan Ta’wil
Pada hakikatnya hermeneutika berbeda dengan, tafsir dan ta’wil. Secara singkat definisi ta’wil dapat kita rujuk kepada Imam Al-Jurjany dalam At-Ta'rifat yang menyatakan bahwa ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, selama makna yang dipilih sejalan dengan Alquran dan Sunnah. Jadi, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Seperti firman Allah "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati" (Al-An'am: 95), jika yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi jika yang dimaksud adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta’wil.
Ar-Raghib Al-Isfahany dalam Mufradâtnya mengemukakan bahwa tafsir lebih umum daripada ta'wil dan lebih banyak penggunaannya dalam lafaz dan mufradatnya. Ta'wîl berfungsi dalam memahami makna-makna dan susunan kalimat serta lebih banyak digunakan dalam kitab suci, berbeda dengan tafsir yang juga digunakan dalam kitab-kitab lainnya. Tanpa memasuki rincian definisi kedua istilah tersebut serta perbedaannya, kita dapat menyimpulkan bahwa keduanya - dalam konteks Alquran - digunakan sebagai alat/cara untuk memahami kata, kalimat dan pesan-pesan Allah. Tidak heran jika ada ulama yang langsung mempersamakannya.
Ta'wil berbeda dengan hermeneutika, karena ta'wil harus berdasarkan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafazh harfiah Alquran. Perbedaan yang lain, orientasi ta'wil adalah penetapan makna, sedangkan orientasi hermeneutika adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya. Selain itu, dari latar belakang historisnya, metode hermeneutika lahir dari rahim tradisi barat yang memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka.
Tanpa disadari kita mungkin belum faham tujuan hermeneutika, sehingga tidak ‘melek’ akan bahayanya jika diterapkan untuk Alqur’an. Membaca dan memahami kitab suci dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas, adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban barat sekuler yang tidak sejalan dengan konsep tafsir atau ta’wil dalam khazanah Islam.

Kerancuan Metode Hermeneutika
Bibel yang ”dibedah” dengan metode hermeneutika, berbeda dengan Alquran yang dipahami maksud ayat-ayatnya dengan ilmu tafsir (interpreter). Masing-masing berbeda sesuai dengan perbedaan metodenya. Bibel menghadapi kritik sejarah dan kandungannya yang dinilai bertolak belakang serta sulit diselesaikan. Penulisannya pun terjadi jauh sesudah "kepergian Nabi Isa AS" dan bukti-bukti tentang ketidak asliannya telah banyak terungkap.
Kondisi yang berbeda kita dapati dalam Alquran. Alquran tidak mengalami permasalahan dari segi sejarah. Jika Perjanjian Lama (red: Bible) sebelum ditulis hanya bersandar pada transmisi oral yang tak jelas riwayat juga sanadnya, Alquran telah dihafal oleh puluhan sahabat di bawah bimbingan Rasulullah SAW. Selain itu Alquran telah ditulis sejak turunnya dan terkodifikasikan dengan baik di masa khalifah  Utsman bin Affan RA. Dari segi pewahyuan, Alquran sendiri telah menjelaskan bahwa peran Nabi Muhammad SAW dalam proses pewahyuan adalah pasif dan hanya menerima wahyu tanpa merubah redaksinya sedikit pun.
Cara hermeneutika memang berbeda dengan cara penafsiran pada umumnya yaitu menafsirkan suatu ayat tidaklah dilihat dari teksnya melainkan juga kontekstual, historis, penulis serta kondisi sosial psikologis sang penulis ketika menulis. Tafsir hermeneutika pada zhahirnya terlihat menakjubkan dan itu merupakan inovasi baru dalam menafsirkan nash-nash Alquran, tapi pada hakikatnya metode hermeneutika sangat berbahaya. Ketika kita menafsirkan teks sejarah dengan hermeneutika itu tidak masalah bahkan bagus karena teks sejarah merupakan swakarya dan karangan sang penulis, tapi ketika kita menafsirkan Alquran dengan hermeneutika maka itu merupakan kesalahan yang sangat besar karena Alquran bukanlah karangan manusia. Alquran bukanlah buatan Nabi Muhammad SAW sebagaimana dituduh oleh para orientalis dan bukanlah produk budaya sebagaimana yang dikatakan orang-orang liberal. Tetapi merupakan kalam ilahi dan sangat tidak mungkin untuk mengetahui kondisi sosial Sang Khalik ketika berfirman, karena itu rahasia Allah SAW dan pengetahuan kita terbatas.
Sebahagian perumus teori hermeneutika, mengajukan gagasan “pemisahan teks dari pengarangnya” sebagai upaya untuk memahami teks dengan lebih baik. Bahkan, Scleiermacher meng­aju­kan gagasan tentang kemungkinan penafsir dapat memahami lebih baik dari pengarangnya. Jika gagasan ini diterapkan untuk Alquran, siapakah yang mampu mema­hami Alquran lebih baik dari Allah SWT atau RasulNya?
Hal yang sangat disesalkan banyak cendekiawan Muslim terhadap gagasan Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan bahwa Alquran adalah “produk budaya” (muntaj tsaqafy). Dengan menganggap Alquran semata-mata adalah produk budaya, karya sastra biasa, atau sekedar teks linguistik seperti teks-teks lainnya, maka itu berarti telah memisahkan Alquran dari “Pengarangnya”, yaitu Allah SWT. Sungguh sebuah kekeliruan yang besar.
Padahal, sebagai kalamullah, Alquran adalah tanzil. Redaksinya pun berasal dari Allah SWT. Dia memang bahasa Arab, tetapi bukan bahasa Arab biasa. Dia adalah wahyu. Karena wahyu, maka manusia yang paling mema­hami maknanya adalah Rasul-Nya dan orang-orang yang sezaman dengannya (para sahabat).

Tafsir “Nyeleneh” Ala Hermeneutika
Terjadi kesalahan dan penyimpangan penafsiran sebagian ayat-ayat Alquran oleh para penganut liberal, salah satu contoh dalam menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Seorang alumni barat yang mengagumi metode hermeneutika, beliau memaknai jilbab yang disitu tertera dengan kata juyub atau sekitar wilayah dada wanita (maaf) adalah mesti ditutup, dan tidak disebutkan dalam ayat bagian lain seperti kepala, leher, telinga dan lainnya oleh karena itu tidak terlalu penting untuk ditutupi karena menurut beliau yang terpenting adalah bagian juyub nya.
Tak jauh beda tatkala kelompok Islam liberal menafsirkan Surah Al-Ahzab ayat 59 yang mewajibkan setiap Muslimah mengenakan jilbab. Mereka menganggap ayat ini sebagai belenggu yang mengekang hak-hak kaum perempuan. Oleh sebab itu, mereka menolak pewajiban jilbab terhadap muslimah.
Dalam penafsiran pengharaman khamar, wiski dan sebagainya, mereka menilai bahwa khamar itu haram karena konteksnya udara arab yang panas, maka ketika udara dingin maka ia menjadi boleh dengan tujuan menghangatkan tubuh. Oleh karena itu khamar boleh diminum di daerah dingin seperti kutub utara maupun selatan. Dan banyaklah lagi penafsiran-penafsiran yang berbeda dan dinilai menyesatkan.
Yang perlu kita garis bawahi disini adalah bahwa menafsirkan Alquran merupakan hal yang sensitif, dan kita harus berhati-hati dalam menafsirkannya karena Alquran adalah kalamullah sebagai sumber utama hukum Islam. Untuk menafsirkan Alquran ada kaidah-kaidah serta ketentuan yang harus kita penuhi seperti kemampuan berbahasa arab (nahwu sharaf, balaghoh dll), mengetahui asbabun nuzul, tanasubul ayat, dan sebagainya. Perlu diketahui juga bahwa cara-cara penafsiran yang dilakukan oleh salafus shaleh adalah penafsiran yang mempunyai silsilah sanad dalam arti mempunyai sanad sampai ke Rasulullah Saw, berbeda dengan hermeneutika.
Pada akhirnya terlihat jelas bahwa hermeneutika yang dimaksud oleh aliran Islam liberal adalah metode penafsiran yang tidak mau terikat dengan berbagai persyaratan dan metode yang telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu (salaf). Mereka hendak menafsirkan Alquran menurut akal serta hawa nafsu semata. Mereka tidak peduli dengan perkataan Abu Bakar Ash-Shiddieq tentang bahaya menafsirkan Alquran dengan akal murni. Kata beliau, ‘‘Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan kuinjak, andaikata aku menafsirkan Alquran dengan akalku?’’ Artinya, para ulama salaf sepakat bahwa jika menafsirkan Alquran hanya dengan akal, walaupun tafsirnya mungkin benar, tetap sebuah kesalahan.



Penutup
Setelah ditelusuri, ternyata filsafat pemahaman teks ala barat inilah yang menjadi “alat buldoser” paling efektif yang berada di belakang upaya sekularisasi dan liberalisasi pemahaman Al-Qur’an yang terjadi secara massif.
Di tangan para pengasong sekularisme dan liberalisme, metode hermeneutika untuk mengkaji Alquran ini ingin menggusur dan mengkooptasi ajaran-ajaran Islam yang baku dan permanen (tsawabit), agar sesuai dengan pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai modernitas barat sekuler yang ingin disemaikan ke tengah-tengah umat Islam.
Dewasa ini tidak jarang dengan memperatas namakan hermeneutika lahir penafsiran-penafsiran baru yang dimunculkan oleh mereka yang belum memiliki persyaratan bahkan pemahaman tentang hermeneutika. Lensa kamera yang digunakannya buram, akhirnya gambar yang dihasilkannya kabur. Atau alat yang mereka gunakan terlalu canggih, sehingga mereka tidak/belum biasa menggunakannya sehingga hasilnya sangat buruk.
Intinya, hermeneutika bukanlah metode compatible untuk menghasilkan penafsiran kontekstual terhadap Alquran, apalagi kalau melihat latar belakang hermeneutika yang lahir dari sebuah semangat untuk mengaktualkan sebuah teks yang "jauh" dari wilayah kognitif manusia. Alquran  turun dengan teks yang jelas dan "dekat" dengan wilayah kognitif manusia, ditambah lagi dengan pengawalan seorang Rasul yang memberi penjelasan terhadap ayat-ayatnya, maka tanpa harus menggunakan metodologi yang asing dari dirinya, Alquran tetap dapat dipahami dengan jelas maksudnya. Wallahu a’lam bishshawab…

Sumber:
1. Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim, (Beirut: Dar Thayyibah), 1999, vol.III.
2. Fahmy Salim Zubair, Kritik terhadap Studi Al-Quran Kaum Liberal, (Jakarta: GIP), 2010.
3. Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum Al-Nash, Edisi Terjemahan Indonesia Oleh Khoiron Nahdliyin, LkiS, Yogyakarta, 2002.
4. Hans-Georg Gadamer, Truth and Method,( New York: The Seabury Press), 1975.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentar Anda

Site Info

Foto saya
Tapeubeudoh Marwah Bangsa..!!

Pengikut

Tapeubeudoh Marwah Bangsa...
PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia
Blog Directory & Search engine
PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia