أسرة الطلبة الأتشيين بالسودان

RSS
KELUARGA MAHASISWA ACEH (KMA) SUDAN Po. Box 12146 Khartoum Sudan 12223 E-mail: kma.sudan@gmail.com Mobile: +249927876016

Kamis, 27 Oktober 2011

Hambatan dan Kesulitan Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Aceh



A. Pendahuluan
Sebelum kedatangan Belanda hukum yang berlaku di Aceh menurut masyarakat Aceh adalah hukum yang bersumber atau paling kurang “hukum adat” yang telah disesuaikan dengan Syari’at Islam. Tetapi setelah Belanda menaklukan Aceh[1] kesempatan ini dibatasi, bahkan untuk bidang tertentu  (terutama bidang perdagangan dan pidana) dihalangi dan dihapuskan secara tegas. Sejak saat itu rakyat Aceh dan pemimpinya terus berjuang untuk dapat melaksanakan kembali Syari’at Islam secara kaffah seperti pra penjajahan Belanda.
Keinginan tersebut baru terlaksana sekarang pada awal abad ke 21 Masehi. Dengan demikian sudah lebih satu abad berbagai bagian Syari’at Islam atau setidaknya berbagai hukum adat yang telah menyatu dengan Syari’at Islam terdelate dari tengah msyarakat, dan inilah salah satu hambatan pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.
Para penceramah sangat sering menyebut dan mengenang masa lalu –masa kesultanan-sebagai masa kegemilangan, ketentraman dan kedamaian, saat orang Aceh hidup di bawah naungan Syari’at Islam, uraian dan untaian-untaian statment ini lebih merupakan kenangan romastis apologis dari sebuah kenyataan atau rekontruksi atas fakta yang secara historis dapat dipertanggung jawabkan.
Ceramah dan statement-statement apologis  ini sampai batas tertentu tidak mampu memberikan pencerahan, tetapi hanya sekedar menyentuh atau menggugah sentimen dan emosi masyarakat. Demikian juga ceramah-ceramah dan peryataan ini tidak mampu menjadi input pengetahuan atau membuka wawasan masyarakat tentang bagaimana Syari’at Islam yang dahulu dipraktekan dan dilaksanakan di Aceh; dan karena itu tidak mampu pula menjelaskan bagaimana kira-kira keadaan Syari’at Islam yang nanti akan berlaku di tengah masyarakat; dan bagaimana pula kira-kira keadaan masyarakat Aceh di masa akan datang setelah melaksanakan Syari’at Islam secara baik dan kaffah.  
Referensi yang sekarang kita miliki untuk menceritakan bagaimana keadaan masa lalu pelaksanaan Syari’at Islam hanyalah bersumber dari beberapa buku fiqih yang menurut catatan digunakan sebagai hukum positif di wilayah Kerajaan Aceh Darussalam[2], serta cerita dari mulut ke mulut tentang beberapa kasus besar yang diputuskan di pengadilan, baik pengadilan tingkat lanjut di ibu kota kesultanan Aceh Darussalam oleh Qadhi Malikul Adil atau oleh sultan sendiri[3].

B. Kendala Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Aceh
 Cerita-cerita sejarah seperti yang telah penulis ceritakan di atas sangat sedikit  yang dapat dipertanggung jawabkan secara historis. Bahan tertulis tentang susunan peradilan dan tata cara beracara di depan mahkamah di masa kesultanan dahulu relatif sangat sedikit, sehingga timbul persepsi tidak layak untuk digunakan sebagai referensi dalam menjelaskan persoalan tersebut.
Keadaan ini untuk sebagian masyarakat menimbulkan persepsi yang salah tentang Syari’at Islam, karena boleh jadi sesuatau yang sebetulnya tidak islami dan tidak ada kaitannya dengan Islam dikaitkan atau dilabelkan kepada Islam dengan alasan begitulah prektek masa lalu. Adanya “pengadilan rakyat” pada akhir tahun 1999 sesaat setelah undang-undang Nomor 44 tahun 1999 disahkan, merupakan salah satu contoh tentang kekurangan pengetahuan dan kesalahan persepsi tentang bagaimana Syari’at Islam dilaksanakan di masa dahulu. Waktu itu banyak komentar dan pendapat tanpa alasan dan bukti memadai yang mengatakan bahwa “pengadilan rakyat” yang digelar di berbagai tempat tersebut adalah model atau plagiat atas pelaksanaan Syari’at Islam di masa dahulu. Walaupun pendapat yang membantah dan tidak setuju dengan cara tersebut juga cukup banyak bahkan lebih dominan dari pendapat pertama, tetapi pendapat ini tidak mampu menghalangi keinginan segelintir orang yang ingin memaksakan kehendak tanpa mau bertanya kepada mereka yang dianggap pakar dan kompeten untuk melaksanakan aspek atau bagian-bagian dari Syari’at Islam. Ini merupakan kesulitan dan hambatan pertama.
Kesulitan kedua, belum ada daerah atau masyarakat yang telah berhasil melaksanakan Syari’at Islam yang dapat dijadikan model atau contoh dalam upaya pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Syari’at Islam yang  diterapkan di sesuatu tempat pasti merupakan Syari’at Islam yang telah diinterpretasikan dan dikondifikasikan dengan kebutuhan setempat. Karena itu walaupun Syari’at Islam pada hakikatnya adalah satu, tetapi setelah diterapkan maka dia sampai batas tertentu akan saling berbeda karena harus “disesuaikan” dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Negara-negara yang sekarang telah melaksanakan Syari’at Islam (misalnya Arab Saudi, Sudan, Iran, Pakistan dan Nigeria) pada umumnya mempunyai lingkungan dan keadaan yang sampai batas tertentu berbeda dengan keadaan dan lingkungan yang ada di Aceh. Masyarakat Aceh ingin melaksanakan Syari’at Islam yang sampai batas tertentu “disesuaikan” dengan kebutuhan masyarakat Aceh, bukan Syari’at Islam yang telah disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat Arab Saudi, Sudan, Iran, Pakistan dan Nigeria. Jadi secara prinsip, esensi Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh akan Sama dengan apa yang diterapkan di belahan dunia lain. Tetapi dalam hal detil rincian dan sistimnya, apa yang ada di Aceh boleh jadi akan berbeda dengan apa yang dilaksanakan di belahan dunia dan masyarakat lain.
Kesulitan ketiga, pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh dibatasi harus dalam lingkup “sistem hukum nasional” dan juga harus dalam lingkup “sistem peradilan nasional”[4]. Ketentuan pembatasan ini memiliki point plus dan minus di dalam penerapan Syari’at Islam di Aceh. Plus point nya sudah ada pagar dan acuan yang harus diikuti sehingga para perancang dan stake holder tidak perlu lagi mencari-cari model atau sistematika. Materi yang ada dalam Syari’at Islam (baik yang terdapat di dalam produk-produk mazhab fiqih maupun materi yang merupakan hasil ijtihad dan pemikiran baru) tinggal dipilih dan dimasukan saja ke dalam “sistem hukum nasional” dan “sistem peradilan nasional”.sebaliknya hal ini dapat menjadi penghambat, karena pelaksanaan tersebut menjadikan Syari’at Islam harus dikondifikasikan, tidak lagi absolute. Ada kemungkinan tidak bisa di rancang dan dikembangkan menurut apa adannya, mengikuti alur dan keinginan yang didapat dan dipahami dari kitab suci, hadits dan tulisan ulama klasik.
Kesulitan keempat, kekeliruan pemahaman karena pengetahuan tentang Syri’at Islam yang relatif tidak memadai di kalangan pemimpin, baik yang formal maupun yang informal, yang bergerak dalam organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) dan juga partai politik, termasuk para pemimpin dan stake holder di tingkat pemerintahan. Pemahaman yang tidak sempurna ini telah menjadikan sebagian tokoh dam pemimpin ini keliru memilih aspek Syari’at yang akan dijadikan prioritas utama. Begitu juga menjadikan sebagian mereka “takut” atau paling kurang tidak serius melaksanakan Syari’at Islam di tengah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Kekhawatiran dan ketakutan ini menjadi lebih akut karena keengganan melaksanakan Syaria’at Islam bukan hanya karena tidak tahu, tetapi memang karena adanya kekhawatiran yang lebih serius. Mereka khawatir kalau Syari’at Islam berjalan dengan baik maka berbagai kemudahan dan kelapangan yang selama ini dinikmati dan dianggap sebagai kewajaran, seperti perbuatan maksiat bahkan manipulasi dan korupsi akan tertutup rapat, karena salah satu tujuan pelaksanaan Syari’at Islam adalah terciptannya good government. Hal ini terlihat dari adanya nada atau statement sinis yang dilontarkan oleh sebagian tokoh dan pemimpin, serta kenyataan tentang lambatnya pembentukan perangkat yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di tengah masyarakat.
Kekhawatiran yang lain, dengan pelaksanaan Syari’at Islam nanti praktek memuaskan nafsu dan selera rendah yang sebelum ini legal, maka setelah pelaksanaan Syari’at Islam nanti akan menjadi illegal. Untuk sebagian oknum berarti menutup pintu rezeki dan fasilitas “yang menjanjikan” yang untuk kalangan tertentu telah memberikan kemewahan dan prestise tersendiri.
Kesulitan kelima, kekurangan tenaga ahli dan sumber daya manusia yang berkualitas, baik ditigkat pemikir, akademisi ataupun yang bertindak sebagai praktisi Syari’at Islam. Ketika ada tawaran untuk penulisan dan pembuatan qanun tertentu, maka beberapa pihak yang dianggap capable dan memenuhi syarat untuk merancangnya, ketika diajak untuk ambil bagian, mengajukan keberatan dengan alasan tidak mampu atau pengetahuan mereka belum mumpuni[5]. Dalam hubungan ini para hakim, jaksa dan polisi yang akan bertugas menegakkan Syari’at Islam tentu harus dibekali dan dilatih terlebih dahulu, karena bagi sebagian besar mereka penegakkan Syari’at Islam adalah barang baru yang sebelumnya relatif tidak diketahui apalagi dilaksanakan.
Kesuliata keenam, yang juga tidak kalah pentingnya adalah perbedaan pemahaman di kalangan sarjana dan ulama sendiri tentang makna dan cakupan Syari’at Islam yang akan dijalankan, serta tangung jawab pelaksananya. Ada Syaria’at Islam yang pelaksanaannya menjadi tugas pemerintah, ada yang menjadi tugas masyarakat dan ada yang menjadi tugas masing-masing individu. Kalau hal ini tidak dirumuskan dan dibedakan dengan jelas apalagi dicampur adukakan, pasti akan menimbulkan kesulitan dan silang pendapat yang sukar diselesaikan. Akan muncul kesulitan di dalam pelaksanaan karena hal yang sebetulnya bersifat pribadi akan diurus oleh pemerintah, sehingga orang-orang akan merasa terus diawasi dan kebebasan privasinya akan terkekang. Sebaliknya hal yang seharusnya diurus oleh pemerintah akan diurus oleh individu-individu perorangan sehingga tidak akan berjalan dengan baik, bahkan menjadi terbengkalai karena tidak ada orang yang mempunyai wibawa dan kewenangan cukup untuk mengerjakannya.
Dalam hubungan ini keterkaitan pelaksanaan Syari’at Islam dengan issu gender dan issu perlindungan hak azazi manusia (HAM) perlu dirumuskan dengan baik dan jelas. Menurut penulis adalah sebuah tugas berat untuk menjelaskan kepada semua pihak bahwa pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh tidak akan menghilangkan suasana dan keadaan demokratis, tidak akan menguranggi perlindungan HAM dan juga tidak akan menyebabkan perumpuan termarjinalkan.

c. Penutup
            Sekirannya kesulitan-kesulitan di atas tidak ditangani secara respresif, kuat dugaan akan menimbulkan keraguan, sikap pragmatis dan sinisme dikalangan tertentu, kesulitan yang tidak akan habis-habisnya di tengah masyarakat dan bahkan mungkin penentangan yang keras dari kalangan pengamat yang kritis, baik yang pro maupun yang kontra dengan Syari’at Islam. Para ulama dan pemimpin baik yang formal maupun informal harus dapat membuktikan dan meyakinkan semua pihak bahwa pelaksanaan Syari’at Islam adalah rahmat untuk semua pihak. Dengan kata lain, pelaksanaan Syari’at Islam harus menjadikan masyarakat lebih sejahtera  berkeadilan dan berkualitas.Wallahu ‘alam bil haqiqah wa shawab.     


[1] Mulai akhir abad ke 19 dan relatif efektif sejak awal abad ke 20 M.
[2] Kitab Mir’at at-Thullab karangan Abdurra’uf  Syiah Kuala dan kitab safinat al-Hukkam karangan Jalaluddin at-Tarusani merupakan kitab fiqih yang dijadikan rujakan hukum positif pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Lihat : Prof. DR. H. Al Yasa’ Abubakar, MA, Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Cet.3, Edisi Revisi, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005), h.7. 
[3] Paling kurang ada dua cerita rakyat yang sering penulis dengar. Pertama cerita tentang hukuman mati yang dijatuhkan oleh Sultan Iskandar Muda terhadap anak laki-lakinya sendiri,atas tuduhan berzina. Konon anak ini adalah putra mahkota yang sedianya akan mengantikan beliau sebagai sultan. Kedua kisah hukuman Qishas yang kemudian ditukar dengan diyat seratus ekor kerbau yang dijatuhkan oleh Qadhi Malikul Adil pada masa Sultan Alaudin al-Qahar (1539-1571M) atas raja linge ke XIV yang terbukti membunuh saudara tirinya Buner maria (Bener Mariah). Lihat : Junus Djamil. M, Gadjah Putih Iskandar Muda, (Kutaradja: Lembaga Kebudayaan Aceh, 1958).h 39.
[4] Prof. DR. Al Yasa’ Abubakar, MA dan Marah Halim, S. Ag, M. Ag, Hukum Pidana Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Edisi Pertama, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), h.18.
[5] Prof. DR. H. Al Yasa’Abu Bakar, MA, Syari’at Islam…, h. 121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentar Anda

Site Info

Foto saya
Tapeubeudoh Marwah Bangsa..!!

Pengikut

Tapeubeudoh Marwah Bangsa...
PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia
Blog Directory & Search engine
PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia