Gbr: http://zulchizar.wordpress.com/ |
Pada kajian rutin mingguan KMA-Sudan kali ini, yang menjadi pemateri adalah Ust. Yahya Sukaryadi. Beliau mengajak kita untuk mengupas secara umum butir-butir ilmu seputar masalah pemimpin dalam sebuah negara. Ulama-ulama terdahulu, meletakkan masalah pengemban segala urusan (wula ul-umur) ini dalam bab khusus di antara permasalahan-permasalahan fiqih lainnya.
Imam al-Mawardi merangkum segala persoalan wula ul-umur ini dalam karyanya Al Ahkam as Sulthaniah. Al-Mawardi seorang ulama fiqih bermazhab Syafie. Beliau dianggap sebagai pemikir dan tokoh politik kenegaraan yang paling menonjol semasa pemerintahan kerajaan Abbasiah. Beliau juga alim dalam bidang tafsir, usul fiqh dan ilmu kemasyarakatan.
Wula al-amri dapat diartikan sebagai pengemban sebuah perkara (ashabul amri), dalam hal ini adalah seorang pemimpin. Dalam sistem pemerintahan Islam, ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan, yaitu menjaga kemurnian Agama (shianah ad-din) dan urusan perpolitikan negara (siasah ad-dunyawiah). Maka, pemimpin ideal dalam Islam setidaknya menguasai persoalan Agama dan negara sekaligus. Karena seluruh permasalahan Agama dan negara berada di bawah tanggungjawabnya. Sisi inilah yang dibidik oleh para orientalis, sampai akhirnya di Indonesia sendiri terjadi pemisahan (dikotomi) antara urusan Agama dan urusan negara dalam pemerintahan.
Merujuk kepada pendapat Imam Mawardi ra, setiap kebijakan yang dilahirkan tanpa berlandaskan Agama, maka kebijakan tersebut bila diterapkan tidak akan bernilai apa-apa. Namum sebaliknya, setiap kebijakan yang ditelurkan berlandaskan nilai-nilai Agama dan sesuai dengan ketetapan Syari’at Islam, maka kebijakan itu bila diterapkan akan bernilai ibadah.
Logika sederhananya dapat kita temukan dalam kasus ‘nikah’. Sudah menjadi fitrah kita sebagai manusia jika timbul rasa Ketertarikan antara lain jenis. Dan jalur legal yang ditetapkan untuk menyatukan rasa itu adalah dengan menikah. Ketika nikah dijalankan tidak berlandaskan Agama, maka nikah itu tidak lebih sebagai sarana pemuas hasrat biologis semata. Namun, bila nikah dijalankan sesuai dengan tata cara yang telah diatur dalam Syariat Islam, maka nikah itu akan bernilai Ibadah.
Pemimpin yang memenuhi kriteria di ataslah yang dimaksud sebagai ulil amri dalam ayat,
أطيعوا الله وأطيعوا الرسول و أولي الأمر منكم
“Patuhilah segala perintah Allah, Rasul dan pemimpin (ulul amri) di antara kamu” (Qs. An-Nisa: 59)
Menurut Imam Mawardi, ulil amri di sini adalah para ulama dan umara (pemimpin). Sekarang masalahnya, apakah pemimpin kita termasuk dalam kategori pemimpin yang wajib dipatuhi?
Jumhur ulama mengatakan, selama pemimpin itu muslim dan tidak memerintahkan kita dalam perkara-perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka hukumnya tetap wajib untuk dipatuhi. Kecuali dalam persoalan-persoalan perbedaan pendapat (khilafiah), seperti penetapan awal atau akhir Bulan Ramadhan. Maka, perbedaan pendapat tetap dibolehkan. Walaupun demikian, mengikuti kebijakan pemimpin (pemerintah) tetap lebih diutamakan. Lain halnya jika pemimpin tersebut dhalim, dalam hal ini berlaku kaidah usul figh,
"درء المفاسد مقدم على جلب المصالح"
“Menolak keburukan lebih diutamakan daripada mencari kebaikan”
Jadi, menentang pemimpin-pemimpin dhalim ini hukumnya wajib.
Lalu bagaimana dengan sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia? Kita sama-sama tahu bahwa demokrasi adalah produk barat. Dan demokrasi yang diterapkan sekarang tidak sesuai dengan sistem yang berlaku dalam Islam. Ulama-ulama kontemporer ada yang menganggap demokrasi sejalan dengan Syari’at Islam. Pendapat ini berdasarkan adanya kemiripan antara demokrasi dan system pemerintahan Islam yaitu sistem syura (parlemen).
Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islamiyah), terdapat sebuah lembaga yang disebut sebagai ahlul ahli wal aqdi. Salah satu tugas lembaga tersebut adalah memilih pemimpin. Lembaga ini mirip dengan lembaga legislatif dalam demokrasi. Namum, ada perbedaan dalam proses pembentukan badan tersebut. Lembaga legislatif dalam sistem demokrasi dibentuk dari hasil pemilihan seluruh rakyat (dari rakyat untuk rakyat), melalui suara terbanyak. Sedangkan ahlul ahli wal aqdi, tidak dipilih melalui pemilihan selayaknya pemilu di Indonesia. Mereka terdiri dari para ulama yang sudah menjadi panutan masyarakat di zamannya, menjadi rujukan rakyat dalam segala persoalam Agama, dan dengan sendirinya dipercaya sebagai wakil rakyat dalam sebagai ahlul ahli wal aqdi.
Perbedaan ini sangat mendasar, ulama yang menentang demokrasi saat ini melihat bahwa pemilihan ‘dari rakyat untuk rakyat’ sebagai system yang salah. Karena, system ini menganut falsafah suara terbanyak, dan suara terbanyak belum tentu benar.
Pembahasan dalam kajian kali ini cukup luas untuk dapat dituntaskan dalam waktu yang relatif singkat. Diskusipun terus mengalir hingga ke topik permasalahan tentang Khilafah Islamiyah, tata cara pemilihan pemimpin, hingga bagaimana langkah-langkah menentang seorang pemimpin yang dhalim.
Meskipun belum tuntas, semoga kajian singkat ini menjadi stimulus bagi kita semua untuk terus membaca dan menela’ah. Wallahu ‘A’lam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Komentar Anda